Shalat merupakan amal ibadah yang sangat agung dan mulia. Betapa tidak, Alloh dan RasulNya selalu menyebutnya, memuji orang-orang yang menegakkannya dan mengancam keras orang-orang yang melalaikannya, lebih-lebih meninggalkannya. Setiap muslim dan muslimah pasti mendambakan agar shalatnya diterima oleh Alloh. Namun bagaimanakah caranya agar amal ibadah ini diterima olehNya, berpahala, dan tak sia-sia belaka?!
Sebagaimana lazimnya
seluruh ibadah, shalat seorang hamba sia-sia kecuali memenuhi dua
syarat:
Pertama: Ikhlas.[1]
Seorang harus benar-benar memurnikan niatnya hanya untuk Alloh, bukan
karena pamrih kepada manusia, bangga terhadap dirinya, atau penyakit
hati lainnya. Syarat ini, sekalipun memang berat—bahkan lebih sulit dari
syarat kedua—tetapi barangsiapa yang berusaha dan bersungguh-sungguh,
niscaya akan dimudahkan oleh Alloh.
Kedua: Al-Ittiba’.
Seorang harus berupaya untuk mencontoh tata cara shalat yang telah
dituntunkan oleh Nabi yang mulia. Hal ini sebagaimana tertera dalam
hadits:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.
(HR. Bukhari,
Muslim, Ahmad)
Konsekuensi syarat kedua ini adalah ilmu. Sebab
bagaimana mungkin kita akan dapat shalat sesuai tuntunan Nabi padahal
kita tidak mengilmuinya?! Di antara petunjuk Nabi dalam shalat adalah
“sutrah”. Mengingat begitu pentingnya masalah ini dan terabaikannya
sunnah ini di lapisan mayoritas masyarakat kita sekarang, maka penulis
terdorong untuk membahasnya, sekalipun secara ringkas.
Definisi Sutrah[2]
Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan oleh seorang yang shalat di
depannya sebagai pembatas antaranya dengan orang yang lewat di depannya.
Perintah Bersutrah Ketahuilah wahai saudaraku yang
mulia—semoga Alloh menambahkan ilmu bagimu—bahwasanya Nabi selalu
menjadikan sutrah dalam shalatnya, baik ketika safar ataupun tidak, di
bangunan atau tanah lapang, di masjid, di rumah, dan sebagainya. Beliau
terkadang bersutrah dengan tembok, tiang, ranjang, pelepah kurma, dan
sebagainya. Tak hanya itu, Nabi juga memerintahkan secara lisan
sebagaimana tertera dalam banyak hadits, di antaranya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لاَ
تُصَلِّ إِلاَّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبىَ فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda,
“Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah dan janganlah engkau
biarkan seorangpun lewat di depanmu. Apabila dia enggan, maka perangilah[3] karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan).”
(HR. Muslim 260)
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ
الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ
فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَالْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ
فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat, maka
hendaknya dia bersutrah dan mendekat kepadanya. Dan janganlah dia
membiarkan seorangpun lewat di depannya, apabila dia enggan maka
perangilah karena dia adalah setan.”
(HR. Abu Dawud 697, Ibnu Majah 954, dll. dengan sanad hasan)
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلىَ سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ
مِنْهَا لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ. وَفيِ لَفْظٍ
عِنْدَ ابْنِ خُزَيْمَةَ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
وَلْيَقْتَرِبْ مِنَ السُّتْرَةِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْهِ
Dari Sahl bin Abu Hatsmah dari Nabi bersabda, “Apabila seorang di
antara kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya dia mendekat pada
sutrah, janganlah setan memotong shalatnya.”
(Shahih. Riwayat Ibnu Abi Syaibah 1/279, Ahmad 4/2, Abu Dawud 695, dan lain-lain).
Dan dalam lafazh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2/10, “Apabila
salah seorang di antara kalian shalat, maka hendaknya dia bersutrah dan
mendekat padanya, karena setan lewat di depannya.”
Hadits-hadits
di atas menjelaskan secara gamblang disyari’atkannya bersutrah, baik dia
imam atau shalat sendirian, dan baik di bangunan atau tanah lapang
sebagaimana disepakati oleh para ulama, seperti dinukil oleh Ibnu Rusyd
dalam Bidayah Al-Mujtahid 1/116, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ hal. 30, Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 4/197, An-Nawawi dalam Al-Majmu’ 3/209, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 2/237, dan As-Saffarini dalam Syarh Tsulatsiyat Ahmad 2/786.
Bahkan lebih dari itu, sebagian ulama berpendapat wajibnya bersutrah
sebagaimana madzhab Imam Ahmad, Abu Awanah, Ibnu Habib Al-Maliki, Ibnul
Majisyun, Mutharrif, Mahmud As-Subuki, Al-Albani, dll. (Lihat Ithaf
Al-Ikhwah bi Ahkam Shalat ila Sutrah hal. 102-113, Farikh bin Shalih
Al-Bahlal) Berkata Imam Asy-Syaukani tatkala mengomentari hadits Abu
Sa’id di atas, “Hadits ini menunjukkan bahwa bersutrah hukumnya wajib.”
(Nailul Authar 2/4). Beliau juga berkata, “Zhahir perintah menunjukkan
wajib, kalau memang dijumpai dali yang memalingkannya kepada sunnah,
maka hukumnya sunnah.” (Sailul Jarrar 1/176)
Salaf dan Sutrah Syari’at dan sunnah[4]
yang mulia ini menempati posisi yang tinggi dalam hati para salaf dari
kalangan sahabat Nabi. Hal ini tak aneh, lantaran mereka adalah generasi
yang dikenal sangat mengagungkan perintah Nabi dan bersegera dalam
pelaksanaannya. Semua itu buah keikhlasan dan kejujuran mereka dalam
cinta kepada Alloh dan RasulNya.
Dari Anas berkata, “Aku melihat para
sahabat Nabi mengerumuni tiang-tiang ketika Maghrib sampai Nabi keluar.”
(HR. Bukhari 503).
Dalam lafazh lainnya, “Dalam keadaan seperti itu,
mereka melakukan shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari 625)
Dalam atsar ini,
Anas menceritakan dari sahabat dalam waktu yang sempit ini mereka
mengerumuni tiang-tiang untuk menjalankan shalat sunnah sebelum Maghrib.
Dari Qurrah bin Iyas berkata: Umar (bin Khaththab) pernah melihatku
shalat di antara dua tiang, lalu dia memegang tengkukku dan
mendekatkanku ke sutrah, seraya berkata: “Shalatlah menghadapnya.” (HR.
Bukhari 1/557)
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Empat perkara termasuk
kelalaian: seorang yang shalat tidak menghadap sutrah … atau mendengar
adzan tetapi tidak memenuhinya.” (Shahih. Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/61
dan Al-Baihaqi 2/285)
Perhatikanlah! Bagaimana beliau menyandingkan
shalat seorang tanpa sutrah dengan tidak memenuhi panggilan adzan! Dari
Nafi’ berkata: Adalah Ibnu Umar z/ apabila tidak mendapati peluang tiang
masjid, maka beliau mengatakan kepadaku, “Berikan pundakmu padaku
(untuk sutrah–pent).” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 1/279 dengan
sanad shahih) Dan adalah Salamah bin Al-Akwa’ meletakkan beberapa batu
di tanah lapang. Apabila dia ingin shalat, maka dia shalat menghadapnya.
(Ibnu Abi Syaibah 1/279 dengan sanad shahih) Atsar-atsar seperti ini
masih banyak. Tetapi cukuplah sebagian di atas sebagai ibrah bagi kita.
Manfaat Sutrah Syari’at menjadikan sutrah dalam shalat ini memiliki beberapa manfaat, di antaranya:
1. Melaksanakan perintah Nabi dan mengikuti petunjuk beliau yang merupakan kebaikan di dunia dan akhirat. Alloh berfirman:
Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang
diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi
mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).
(QS. An-Nisa’: 66)
2.
Menjadikan pandangan seorang yang shalat terpusat padanya dan tidak
melayang ke mana-mana, sehingga dia betul-betul menghadirkan hatinya
dengan penuh kekhusyukan.
3. Menutupi kekurangan shalat seorang dan mencegah setan untuk lewat di depannya dan merusak shalatnya.
4. Sebagai tanda bagi manusia bahwa seorang sedang dalam shalat.
5. Menghindarkan manusia agar tidak terjatuh dalam larangan melewati orang yang sedang shalat.
6.
Memperirit tempat shalat dan memberikan tempat selebihnya kepada yang
lain. (Lihat Syarh Al-Mumti’ 3/275 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin) Demikian beberapa faedah yang dapat dipetik. Namun bagi
seorang muslim hendaknya yakin seyakin-yakinnya bahwa seluruh hukum
Alloh dan RasulNya pasti membawa maslahat dan menyimpan faedah, baik
kita ketahui atau tidak.
Bahkan seorang yang mengamalkan suatu hukum
karena pasrah dan tunduk kepada pembuat syari’at sekalipun dia tidak
mengetahui faedahnya, lebih baik daripada seorang yang mengamalkannya
hanya karena faedah yang ada padanya. Wallahu A’lam.
Berlanjut tentang : ukuran sutrah, faedah danasalah tentang sutrah, jarak sutrah
[1] Lihat tulisan Al-Akh Al-Fadhil Abu Abdillah “Ikhlas” dalam Al-Furqon Edisi 6/Th. IV.
[2] Pembahasan ini banyak disarikan dari risalah Ahkam As-Sutrah oleh Syaikh Muhammad bin Rizq bin Tharhuni, cet. Dar Al-Haramain.
[3] Sebagian ada yang menerjemahkan “maka bunuhlah”. Maka ini kesalahan cukup fatal, karena ada perbedaan tajam antara « قَتَلَ » yang bermakna membunuh dan « قَاتَلَ » yang bermakna memaksa orang dengan hukum syar’i. Sedang dalam hadits dengan lafazh kedua (قَاتَلَ) bukan yang pertama (قَتَلَ).
[4]
“Sunnah” yang kami maksud di sini bukan sunnah dalam istilah fiqih,
tetapi petunjuk dan tuntunan Nabi n/ kepada umatnya. Adapun hukumnya
sutrah, maka menurut pendapat yang terkuat adalah wajib. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment
dimohon komentar yang layak