UKURAN SUTRAH
Tentang ukurannya, telah dijelaskan dalam berbagai hadits, di antaranya:
عَنْ طَلْحَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
: إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُأَخِّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ وَلاَ يُبَالِيْ مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
Dari Thalhah / berkata: Rasulullah n/ bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kalian meletakkan di depannya semisal
kayu yang terletak di belakang kendaraan (untuk sandaran) maka hendaknya
dia shalat dan tidak usah menghiraukan orang yang lewat di belakang
benda tersebut.”
(Muslim 499)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ فيِ غَزْوَةِ تَبُوْكٍ عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّيْ فَقَالَ: كَمُأَخِّرَةِ الرَّحْلِ
Dari Aisyah berkata: Rasulullah pernah ditanya
pada perang Tabuk tentang sutrah bagi orang shalat, maka beliau
menjawab, “Semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan yang
dijadikan sandaran oleh pengendaranya.”
(Muslim 500)
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
: إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي
فَإِنَّهُ يَسْتُرْهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ
الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ
فَإِنَّةُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ
الأَسْوَدُ
Dari Abu Dzar berkata: Rasulullah bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat, maka
sesungguhnya sutrahnya adalah jika di depannya semisal kayu yang
terletak di belakang kendaraan. Dan apabila tidak ada di depannya
semisal kayu yang terletak di belakang kendaraan, maka shalatnya akan
terpotong oleh khimar (keledai), wanita, dan anjing hitam.”
(Muslim
510)
Hadits-hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang ukuran
panjang sutrah, yaitu seukuran kayu yang diletakkan di belakang
kendaraan. Tidak boleh kurang apabila mampu. Sebab ketika Nabi ditanya
tentang sutrah, beliau menjawab dengan semisal kayu yang terletak di
belakang kendaraan. Seandainya boleh kurang darinya, tentu Nabi tidak
mungkin menyembunyikannya. Kayu yang diletakkan di belakang kendaraan
seukuran satu hasta sebagaimana ditegaskan Atha’, Qatadah, Tsauri, dan
Nafi’. (Lihat Al-Mushannaf 2/9, 14, 15 dan Shahih Ibnu Khuzaimah 2/11).
Dan satu hasta yaitu ukuran dari siku lengan sampai ujung jari tengah
(Lisanul Arab 3/1495) atau seukuran 46,2 cm (Mu’jam Lughah Al-Fuqaha’
hal. 450-451) Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan ukuran di sini
adalah panjang, bukan lebarnya.
Imam Ibnu Khuzaimah berkata, “Telah
tegak dalil hadits Nabi bahwasanya maksud beliau dengan seukuran kayu di
belakang kendaraan adalah panjangnya, bukan lebarnya. Di antaranya,
bahwa beliau menancapkan tombak sebagai sutrah, padahal lebarnya tombak
tidak seukuran dengan kayu di belakang kendaraan.” (Shahih Ibnu
Khuzaimah 2/12)
Dari sini dapat diambil faedah bahwa tidak boleh
bersutrah dengan garis kalau dia mampu bersutrah dengan benda lainnya
seperti tongkat, barang, kayu, dan sebagainya, hatta sekalipun
dia harus menumpuk bebatuan seperti dilakukan sahabat Salamah bin
Al-Akwa’. (Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/278) Perlu disampaikan pula
di sini bahwa hadits tentang sutrah dengan garis adalah lemah menurut
pendapat terkuat. Seandainya shahih, maka hal itu merupakan usaha
terakhir sebagaimana sangat jelas dari konteks hadits tersebut. (Lihat
kembali majalah Al-Furqon Edisi 8/Th. III hal. 6)
MENDEKAT KE SUTRAH
Dalam hadits-hadits yang telah kami nukilkan di awal terdapat
keterangan tentang perintah Nabi untuk mendekat ke sutrah. Oleh
karenanya, hendaknya hal ini diperhatikan dan tidak disepelekan. Ada
sebuah kisah menarik dalam masalah ini, diceritakan Imam Ibnul Mundzir
dalam Al-Ausath 5/87 dan Al-Khaththabi dalam Ma’alim Sunan 342
bahwasanya suatu hari Imam Malik pernah shalat jauh dari sutrah, lalu
lewatlah seseorang yang tidak mengenalnya seraya berkata, “Wahai orang
yang shalat, mendekatlah ke sutrahmu!”
Maka Imam Malik lalu maju ke
depan, sedangkan beliau saat itu membaca ayat:
Dan (Alloh) telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Alloh sangat besar atasmu. (QS. An-Nisa’: 113)
JARAK DENGAN SUTRAH
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُوْلِ اللهِ
وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرَّ شَاةٍ. وَفيِ رِوَايَةٍ كَانَ بَيْنَ مَقَامِ النَّبِيِّ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ مَمَرَّ عَنْزٍ
Dari Sahl bin Sa’ad berkata, “Jarak antara tempat shalat Rasulullah
dengan dinding adalah seukuran tempat lewatnya kambing.” (HR. Bukhari
1/574 dan Muslim 4/225).
Dalam riwayat lain, “Jarak antara tempat
berdirinya Nabi dengan kiblat adalah seukuran tempat berlalunya domba.”
(Shahih. Abu Dawud 1/11)
Keadaan ini adalah yang sering dipraktekkan
Nabi karena hadits di atas adalah menceritakan tentang kejadian di
masjid beliau. Dengan demikian, berarti jarak dengan sutrah sangat
dekat
SUTRAH IMAM, SUTRAHNYA MAKMUM
Makmum
tidak berkewajiban bersutrah karena sutrah dalam shalat jama’ah
merupakan tanggung jawab imam. Dan karena para sahabat shalat bersama
Nabi, namun tidak dinukil kalau mereka membuat sutrah. Jangan ada yang
berkeyakinan bahwa setiap makmum sutrahnya adalah makmum di depannya,
karena hal itu tidak ada bagi makmum shaf pertama, kemudian
konsekuensinya, setiap makmum harus mencegah orang yang lewat di
depannya, padahal telah shahih dalil yang menyelisihinya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جِئْتُ أَنَا وَالْفَضْلُ عَلَى أُتَانٍ وَرَسُوْلُ اللهِ
بِعَرَفَةَ فَمَرَرْنَا عَلَى بَعْضِ الصَّفِّ فَنَزَلْنَا فَتَرَكْنَاهَا تَرْتَعُ وَدَخَلْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فيِ الصَّلاَةِ فَلَمْ يَقُلْ لَنَا رَسُولُ اللهِ شَيْئًا وَفيِ رِوَايَةٍ أَنَّ اْلأُتَانَ مَرَّتْ بَيْنَ يَدَيِ اْلصَّفِّ اْلأَوَّلِ
Dari Ibnu Abbas berkata, “Saya pernah datang bersama Fadhl dengan mengendarai keledai ketika Rasulullah di
Arafah. Lalu kami melewati sebagian shaf kemudian turun, dan kami
biarkan keledai tersebut makan rumput, lalu kami ikut bergabung shalat
bersama Nabi. Nabi tidak mengatakan sesuatupun kepada kami (tidak mengingkari).” (Muslim 504).
Dalam riwayat Bukhari 1857: “Bahwasanya keledai melewati di depan shaf pertama.”
Dalam hadits ini, Ibnu Abbas dan Fadhl melewati di shaf pertama dengan
kendaraan keledai betina, lalu tidak ada seorangpun dari sahabat yang
mencegahnya atau mencegah keledainya. Demikian pula Nabi tidak
mengingkarinya.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits Ibnu Abbas ini
mengkhususkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Apabila salah seorang di antara kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seorangpun lewat di depannya.’Karena
hadits Abu Sa’id khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
Adapun makmum maka tidak memadharatkannya berdasarkan hadits Ibnu Abbas
ini.” Lalu lanjut beliau, “Semua ini tidak ada perselisihan di kalangan
ulama.” (Fathul Bari 1/572)
BEBERAPA FAEDAH DAN MASALAH
1. Adakah perbedaan antara sutrah di bangunan dan di tanah lapang?
Tidak ada. Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketahuilah bahwa zhahir
hadits-hadits menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara tanah lapang
dan bangunan.” (Nailul Authar 3/6)
2. Bila merasa aman tidak ada yang akan lewat di depannya, tetapkah bersutrah?
Ya. Imam As-Saffarini berkata, “Ketahuilah bahwasanya disunnahkan
bersutrah dalam shalat dengan kesepakatan ulama sekalipun tidak
dikhawatirkan adanya orang yang lewat.” (Syarh Tsulatsiyat Ahmad 2/278)
3. Apabila bersutrah dengan orang atau hewan lalu dia pergi, bolehkan
berjalan mendekat ke sutrah?
Ya, boleh. Berdasarkan keumuman hadits dan
didukung oleh beberapa atsar dari salaf, kecuali apabila membutuhkan
gerakan yang banyak, maka cukup dia berdiri di tempatnya dan mencegah
orang yang lewat semampunya. Inilah yang dipilih oleh Imam Malik, Ibnu
Rusyd, dan juga Syaikh Al-Albani. (Lihat kembali majalah Al-Furqon Edisi
8/Th. III hal. 5)
4. Bagaimana apabila di Masjidil Haram, apakah tetap disyari’atkan sutrah?
Ya,
tidak ada perbedaan, bahkan telah shahih dalam riwayat Imam Bukhari
3/467 dari Ibnu Abi Aufa bahwa Rasulullah n/ tatkala umrah dan thawaf di
Ka’bah, dan shalat di belakang maqam dua rakaat dan bersamanya ada
orang yang menjadi sutrah untuknya. Dan inilah yang dilakukan oleh
sahabat Anas bin Malik dan Ibnu Umar kecuali kalau memang dalam kondisi
berdesakan sekali, maka sebagaimana firman Alloh:
فَاتَّقُوا اللَّـهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ
Maka bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu.
(QS. At-Taghabun: 16)
5. Bolehkah melewati orang yang sedang shalat?!
Tidak boleh, bahkan termasuk dosa besar. Rasulullah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ اْلمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ اْلمُصَلِّيْ
مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا مِنْ أَن
يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat itu
mengetahui (dosa) yang dia pikul darinya, maka dia berdiri selama empat
puluh (tahun) lebih baik daripada dia melewati di depannya.
(Bukhari 1/584)
Hadits ini umum, baik orang yang shalat tersebut memakai
sutrah atau tidak, shalat sunnah atau wajib, di bangunan atau tanah
lapang, di Makkah atau di luar Makkah. Hendaknya hal ini diperhatikan
dan tidak disepelekan! Adapun melewati makmum yang sedang shalat
berjama’ah bersama imam, maka hukumnya boleh berdasarkan hadits Ibnu
Abbas.
Namun sekalipun demikian, apabila seseorang mendapatkan peluang
untuk tidak melewati maka itu lebih baik, karena sedikit banyak hal itu
pasti mengganggu kekhusyukan orang shalat. (Lihat Syarh Al-Mumti’ 3/279,
Ibnu Utsaimin) Demikianlah beberapa masalah tentang sutrah. Kita
berdo’a kepada Alloh agar menjadikan kita semua termasuk hamba-hambaNya
yang ikhlas dan menghidupkan sunnah Nabi serta meneguhkan kita di
atasnya hingga kita bertemu denganNya besok di hari akhirat.
sumber :http://abiubaidah.com/sekelumit-tentang-sutrah.html/
oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
No comments:
Post a Comment
dimohon komentar yang layak